Monday 25 April 2011

travel writing forum with agustinus wibowo


Di tengah maraknya penerbitan buku-buku traveling mengunjungi ‘negeri-negeri indah’ dengan budget terbatas, yang dilengkapi foto-foto narsis sekedar untuk memamerkan pada pembaca bahwa I’ve been there, dan para penulisnya juga dengan bangga melabeli dirinya sebagai backpacker, terselip dua buku perjalanan menjelajah negeri-negeri di Asia Tengah: Selimut Debu (2010) dan Garis Batas (2011). Kedua buku perjalanan yang ditulis Agustinus Wibowo, pemuda pemberani asal Lumajang itu, tidak berkisah tentang keindahan seperti yang jamak kita baca dalam tulisan perjalanan, apalagi review mengenai akomodasi irit dan itinerary berikut harga tiket pesawatnya. Tak heran jika di sejumlah toko buku, Selimut Debu dan Garis Batas tidak dipajang bersamaan dalam rak buku traveling, namun berada di antara buku bacaan umum dan sastra.

Lewat Selimut Debu dan Garis Batas, Agustinus Wibowo memperkenalkan genre sastra perjalanan (travel narrative) yang belum begitu populer di Indonesia. Berbeda dengan genre travel writing sebagai panduan informasi perjalanan yang kita kenal saat ini, sastra perjalanan merupakan tulisan perjalanan yang ditulis layaknya karya sastra. Jenis karya ini sama sekali tidak membahas tentang “how to get there” tetapi merupakan karya tulis yang memadukan unsur jurnalistik, refleksi personal, dan keindahan sastra.

Selain memadukan ketiga unsur tersebut, penulisan sastra perjalanan juga membutuhkan riset yang dilakukan sebelum, selagi, dan sesudah melakukan perjalanan. Perjalanan yang dilakukan secara asal-asalan atau tidak dipersiapkan dengan matang, juga akan menghasilkan tulisan yang kering dan hambar.

Untuk mengenal lebih jauh mengenai genre sastra perjalanan, SMARTRAVELER dan GOODREADS INDONESIA menggelar Travel Writing Forum Sembari Minum Kopi. Forum obrolan santai ini akan membahas tentang proses kreatif penulisan sastra perjalanan AGUSTINUS WIBOWO dan bagaimana kiat menstrukturkan pengalaman perjalanan dalam narasi oleh KRIS BUDIMAN, budayawan & penulis sejumlah buku sastra. Diskusi ini akan dimoderatori oleh ANI HIMAWATI, antropolog yang hobi traveling.

Obrolan santai penuh gizi ini akan diselenggarakan pada hari SABTU SORE, 7 MEI 2011 di Quack Quack Resto, Kompleks RRI Demangan Jl. Gejayan/Affandi, Yogyakarta, pukul 15.00 – 17.30 WIB. Acara terbuka umum dan GRATIS. Tersedia 100 bookmark unik untuk 100 peserta yang datang duluan dan DOORPRIZE berupa buku-buku terbitan GRAMEDIA.

Travel Writing Forum terselenggara atas dukungan GRAMEDIA PUSTAKA UTAMA, QUACK QUACK RESTO, RRI Pro 2 JOGJA, Radio INDONESIA BUKU, dan Timkreatif REGOL. Untuk informasi lebih lanjut, silakan kunjungi www.sembari-ngopi.blogspot.com, HP: 08121575474 & 0818258438 (SMS only).

Penanggung Jawab Acara

Suluh Pratitasari | e: suluhpratita@yahoo.com

Monday 4 April 2011

[liputan media] Jalan-Jalan, Menuliskannya, dan Jadi Buku


liputan tembi.org

JALAN-JALAN, MENULISKANNYA, DAN JADI BUKUKegiatan yang mengasyikkan, pergi jalan-jalan lalu mengisahkannya dalam tulisan, lantas ada penerbit yang tertarik menerbitkannya menjadi buku. Itulah yang dialami Matatita --nama pena Suluh Pratitasari-- dan Citra Dyah Prastuti. Mereka berdua membagi pengalamannya dalam acara obrolan santai Travel Writing Forum yang diselenggarakan oleh Smartraveler & Sembari Minum Kopi di I Cafe, 29 Maret lalu. Tita sudah menerbitkan 3 buku traveling, yakni Tales from the Road (2009), Eurotrip: Safe & Fun (2010) dan UK Trip: Smart & Fun (2011). Sedangkan Citra telah menelurkan buku Cheers UK! (2010). Acara ini mencoba memberikan alternatif atas buku-buku traveling yang hanya berupa panduan. Membuat tulisan perjalanan, kata Citra, bukan sekadar menulis panduan tapi penting untuk menuliskan kesan-kesan kita. Tulisan bisa pula disertai renungan (reflektif).

Bagaimana ceritanya sehingga ada penerbit yang tertarik menerbitkan tulisan mereka? Padahal keduanya tidak menyerahkan proposal atau naskah penerbitan buku ke penerbit. Mereka memilih untuk “dipinang” penerbit. Alasan mereka tidak “meminang” penerbit karena selain menghabiskan waktu, Tita khawatir jika konsep-konsep dalam proposalnya justru diambil dan JALAN-JALAN, MENULISKANNYA, DAN JADI BUKUdikembangkan sendiri oleh penerbit. Agar “dipinang” kedua penulis ini memiliki kiat yang sama yakni membuat blog. Ternyata banyak penerbit yang rajin berburu tulisan di blog-blog. ”Orang mungkin melihat penerbitan buku saya sebagai ’luck’ tapi sebenarnya ini hasil dari strategi saya,” tandas Tita.

Membuat blog banyak untungnya. Yang pasti biayanya murah. Dengan blog, mereka juga dapat mengukur jumlah pengunjung yang berminat terhadap tulisannya sehingga mengetahui apakah tulisan mereka disukai publik atau tidak. Agar disukai, salah satu kiatnya adalah menulislah yang bermanfaat bagi orang lain. Jadi blog bukan sekadar tempat curahan hati.

Selain itu, menurut Citra, penerbit tidak mengenalnya secara personal. Jadi blog merupakan media pengenalan mereka terhadap penerbit. ”Blog sama dengJALAN-JALAN, MENULISKANNYA, DAN JADI BUKUan CV (riwayat hidup) kita,” kata Citra.

Tidak heran kalau Tita dan Citra mempunyai banyak blog, bahkan blog Citra mencapai 18 buah. Mempunyai banyak blog merupakan bagian dari strategi juga. Setiap blog memiliki tema tersendiri, jadi tidak campur aduk. Fungsinya adalah untuk membranding diri (personal branding). Selain blog, Tita juga membranding diri melalui facebook dimana di statusnya ia hanya berbicara tentang traveling.

Menurut Citra dan Tita, semua orang bisa menulis. Yang penting, mulai saja dulu. Bagi yang belum terbiasa menulis, kiatnya adalah menulis seperti kita sedang bercerita atau mengobrol. Citra sendiri rajin membuat catatan harian, yang ternyata penting karena ketika dia absen menulis 1-2 hari maka kesan dan ingatannya tentang peristiwa atau daerah tertentu sudah menguap.

Mengenai cara mengemasnya nanti akan ditemukan sendiri dalam prosesnya. Menulis adalah bagaimana membuat JALAN-JALAN, MENULISKANNYA, DAN JADI BUKUdiri kita outstanding (istimewa). “Tapi jangan terlalu serius, nanti nggak mulai-mulai,” pesan Citra, yang sehari-harinya adalah wartawan Kantor Berita Radio 68H.

Kiat lain adalah mengusahakan agar tulisan tidak konvensional dan tidak seperti brosur. Bisa dikombinasikan dengan kondisi di negara lain, misalnya soal kondisi perkeretaapian. Tita menambahkan perlunya memperkaya literatur karena akan memperkuat data dan membuat tulisan lebih mempunya angle (sudut pandang) yang kaya. Data juga penting dalam memberikan konteks tulisan sehingga ketika menuliskan hal-hal yang negatif tulisan traveling tidak dinilai sebagai tulisan yang menjelek-jelekkan. Tita sendiri, lulusan jurusan antropologi UGM, tertarik pada sisi-sisi seni, sejarah dan antropologi.

Angle, menurut mereka, harus dipilih dengan cermat. Selain angle, kekhasan tulisan bisa dibentuk oleh gaya dan ekspresi. Meskipun dalam bukunya masing-masing, Citra dan Tita mengomentari daerah atau bangunan yang sama tapi tulisan mereka tetap berbeda. Citra kembali menekankan pentingnya kesan (impresi) sebagai faktor penting dalam tulisan traveling.

Yogya adalah kota wisata yang kaya dengan obyek traveling. Klop bagi yang berminat untuk menulisknya. Ada satu fakta menarik yang dilontarkan Citra dan Tita tentang penulisan traveling, yakni sebagian besar buku traveling di Indonesia ternyata ditulis oleh penulis baru. Nah!

barata